Sabtu, 16 Maret 2013

Perdagangan bebas Indonesia dan China

Perdagangan Bebas Ancam Ekonomi Nasional


DOK KORAN JAKARTA
JAKARTA - Era perdagangan bebas berpotensi mengancam kelangsungan hidup perekonomian Indonesia sehingga harus disikapi secara hati-hati oleh pemerintah. Indonesia seharusnya membuka pintu bagi pasar bebas ketika fondasi industri dalam negeri sudah kokoh dan siap bertarung secara global seperti yang dilakukan oleh Jepang dan Amerika Serikat.

Doktor termuda bidang hukum perdagangan internasional dari Fakultas Hukum UI, Ariawan Gunadi, mengungkapkan di era globalisasi dan dunia tanpa batas atau borderless dewasa ini, Indonesia tidak bisa menghindari perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Sayangnya, Indonesia belum mendapat benefit dari perjanjian tersebut, khususnya dalam lingkup ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang berlangsung sejak 1 Januari 2010.

"Awalnya perjanjian perdagangan bebas diharapkan mampu menyejahterakan rakyat. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, merugikan Indonesia," papar Ariawan setelah pengukuhannya sebagai doktor pada usia 27 tahun, di Jakarta, Sabtu (6/10).

Perdagangan bebas, lanjut dia, malah menyuburkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mempersempit lapangan kerja karena banyak industri kecil gulung tikar akibat kalah bersaing di pasar lokal dengan industri asing.

Akibatnya, pekerja yang kehilangan mata pencaharian mencapai 7,5 juta jiwa. Itu berarti, angka pengangguran terbuka mencapai sekitar 8,9 juta, bahkan akan membengkak menjadi 17,8 juta orang.

"Membanjirnya produk luar negeri di pasar domestik, seperti barang murah dari China, secara tidak langsung menghancurkan produk dalam negeri," kata Ariawan.

Menurut dia, kehancuran industri lokal itu disebabkan pemerintah menerima secara mentah-mentah ACFTA meski industri manufaktur domestik masih lemah. Padahal, China maupun AS baru membuka pasarnya ketika industri manufaktur sudah kuat. Mereka pun melakukan law policy, yaitu memproteksi produk dalam negeri selama beberapa dekade. Setelah industri dalam negeri stabil, baru membuka pasar bagi negara lain.

Terkait dengan kebijakan itu, lanjut Ariawan, Indonesia bisa belajar dari Australia dan Belanda. Kedua negara tersebut baru menerima perdagangan bebas setelah melakukan kajian khusus selama bertahun-tahun dan melibatkan partisipasi masyarakat. "Sementara di Indonesia, penandatanganan ACFTA tidak melibatkan masyarakat, tahu-tahu barang-barang China sudah membanjiri pasar lokal."

Seperti dikabarkan, agenda perdagangan bebas yang diusung negara maju pada hakikatnya adalah penindasan. Indonesia yang dituntut menghapuskan subsidi bagi petani dipaksa bertarung dengan negara maju yang menyubsidi penuh petaninya.

"Perdagangan bebas merupakan upaya Barat untuk menjadikan Indonesia sebagai importir pangan terbesar di dunia dengan nilai impor sekitar 12 miliar dollar setahun," ungkap peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Awan Santosa, belum lama ini.

Karena itu, Awan mendesak pemerintah untuk tidak menuruti agenda perdagangan bebas yang mengharuskan penghapusan subsidi bagi petani. Pasalnya, negara maju pengusung agenda itu justru menerapkan subsidi yang signifikan untuk membantu petani agar bisa bersaing di negara lain.

Pendapat :

Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing.

Dalam mendukung industri dalam negeri, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dan membuat kebijakan yang melindungi produk dalam negeri. Pola seperti itu,, dilakukan Malaysia. Negeri jiran itu menyadari kehadiran barang China akan mengancam kelangsungan industri lokal.

Upaya lain yaitu,Indonesia meminta negara China untuk membatasi ekspor ke Indonesia. Pola seperti itu pernah dilakukan AS China, dan berhasil. Dengan cara itu, diharapkan terjadi keseimbangan perdagangan antara Indonesia dan China.

Sehingga , produk-produk lokal lebih banyak di pasaran dan memiliki dampak positif terhadap warga Indonesia . Lapangan pekerjaan semakin banyak , kualitas tidak kalah saing dengan produk-produk asing dan tentunya dengan harga yang terjangkau .

sumber :  http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/102412

Tidak ada komentar:

Posting Komentar